Analisis Semiotika Apem Ruwahan Dari Sudut Pandang Ilmu Kejawen

Edi Padmo
0




"...ngedalaken apem menika minangka wujud sarat sarana kagem caos sodakoh. Ingkang manfaat utawi ganjaranipun kakintun dumateng sedaya arwah leluhur ingkang sumare wonten ing pekuburan mriki...


Sedaya dipun pepetri, sedaya dipun pengeti, dipun suwunaken pangapunten dumateng Gusti Ingkang Maha Kuwaos


Ingkang dawah miring kagema tameng, dawah mlumah kagema gelaran, dawah nginggil kagema songsong kagem marak seba wonten ing ara ara tarmiyah...


Sowanipun para leluhur ingkang sampun sumare mugi tinampi, dingapunten sedaya lepatipun rikala tasih gesang, lan dipun papakaken wonten papan ingkang sae..."



Budaya(lainsisi.com)-Rangkaian kalimat diatas adalah kalimat  'seserahan' atau rangkaian doa yang dilantunkan saat 'sesepuh' (tetua adat) membaca 'ubarampe' berwujud apem dalam ritual adat Ruwahan.


Sesuai kepercayaan adat Jawa, Wulan/Bulan Ruwah yang jatuh sebelum Wulan Pasa (puasa) adalah 'bulan arwah' (mengeti arwah). Dimana masyarakat melaksanakan upacara adat Nyadran Ruwahan. Sejak pagi, warga berziarah mengirim doa di makam leluhur mereka. Membersihkan area makam, kemudian ditutup dengan kenduri bersama


Selain berbagai bunga, ada satu ubarampe yang dibawa yakni kue apem. Makanan apem adalah 'ubarampe' utama saat upacara Nyadran Ruwahan. Makanan ini terbuat dari tepung beras, santan dan ragi tape serta gula jawa. Berbentuk bulat pipih agak tebal di bagian tengah. Apem dimasak dengan cara di goreng dalam wadah cetakan khusus.



Keterikatan tradisi dengan kuliner memang tidak bisa dipisahkan dan sudah menjadi bagian yang khas dan mewakili ciri etnis dan suku bangsa tertentu di Nusantara. Tidak saja dari sudut pandang materiil sebagai representasi boga namun juga mencitrakan karakter Sosio antropologis dan spiritual masyarakatnya.


Beberapa orang mengatakan jika diyakini apem berasal dari Bahasa Arab yaitu "affuan" atau "afuwwun" yang artinya pengampunan. Masyarakat Jawa yang kesulitan mengucap kata 'affuan' kemudian menyederhanakannya dengan sebutan apem


"Dipercaya bahwa kue apem berasal dari Mekah. Konon kue ini dibawa oleh seorang ulama yang hidup pada zaman Kerajaan Mataram dan merupakan penyebar agama Islam di daerah Jatinom Klaten bernama Ki Ageng Gribig" (Belajar dar Makanan Tradisional Jawa; Dawud Achroni)


Dalam bukunya, Dawud mengkisahkan, Ki Ageng Gribig adalah ulama yang syiar di daerah Klaten, Jawa Tengah. Saat kembali dari Mekah menunaikan ibadah haji, Ki Ageng Gribik membawa oleh-oleh berupa kue apem. Ternyata, saat beliau sampai di tanah Jawa, banyak orang berkumpul di rumahnya untuk mendengar cerita dan wejangan.


Singkat cerita, oleh-oleh yang diyakini adalah kue apem tersebut terlalu sedikit dan tidak mencukupi untuk semua yang hadir. Ki Ageng pun meminta istrinya untuk memasak kue apem agar semua yang hadir bisa mendapatkannya.


*Analisis Semiotika Apem*



Dalam pandangan masyarakat Jawa yang senantiasa sarat dengan simbol-simbol dan pesan moral, maka peran beberapa kuliner yang hadir di setiap bagian prosesi ritual tertentu akan memiliki makna-makna penanda yang semiotik


Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.


Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).


Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna.  Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.


Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.


“Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.


Semiotik, -atau dalam istilah Roland Barthes ; semiologi-, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.


Secara semiotika, apem merupakan simbol permohonan ampun kepada Tuhan atas berbagai kesalahan. Hal ini sesuai dengan kata apem secara linguistik yakni affuwun, atau ampunan


Apem juga melambangkan kesederhanaan. Hal ini terlihat dari bahan-bahan pembuat apem yang mudah didapatkan dan dari proses pembuatannya. Untuk membuat apem tidak membutuhkan waktu lama. Rasa yang nikmat dari kue apem juga mengajarkan kita tentang rasa syukur.


Makna lain dari apem adalah sebagai simbol dari sedekah. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Ki Ageng Gribig dan istrinya. Mereka membagikan kue apem kepada tetangga dan sanak saudara yang datang ke rumahnya


Selain itu, bentuk apem yang bulat melambangkan tempat berdoa atau sarana penghubung dengan Tuhan. Dalam filosofi Jawa juga dikenal bentuk lingkaran sebagai 'cakra manggilingan', siklus hidup yang terus berganti. Bentuk bulat dari apem mengajarkan tentang filosofi 'lir gumanti' (bergantian). Ketika saat ini kita yang masih hidup mendoakan leluhur yang sudah meninggal, maka pada waktunya nanti, ketika kita sudah meninggal maka harapannya akan didoakan oleh anak cucu





Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!