Istilah Orang Jawa Dalam Menyebut Urutan Alur Leluhurnya
Di tahun 763 M, ada seseorang yang hidup sebagai leluhur kita, siapakah Dia ..?
Budaya(lainsisi.com)-- Masyarakat Jawa dikenal sangat menghormati leluhurnya. Dalam budaya Jawa, 'nguri-uri' (melestarikan) leluhur termasuk salah satu yang dianggap sebagai pokok ajaran luhur.
Leluhur yang sudah meninggal masih tetap akan diingat, makam (pasarean) selalu rutin diziarahi untuk didoakan. Dan pada bulan Ruwah, sebelum puasa, para ahli waris mengadakan upacara adat 'Ruwahan'.
Tak hanya 'nguri-uri', orang Jawa juga mempunyai nama-nama unik untuk urutan ahli waris keluarga. Dalam sistem kekeluargaan masyarakat Jawa, alur waris ini biasa disebut 'trah'.
Penghitungannya dimulai ke atas dari bapak/ibu kita. Berikut nama trah yang dirunut ke atas:
- Bapak/Ibu (bapak/simbok), atau orang tua kita
- Kakek/nenek (simbah kakung/simbah putri). Ini sebutan untuk orang tua dari orang tua kita
- Mbah Buyut, (seterusnya merunut ke atas)
- Mbah Canggah
- Mbah Wareng
- Mbah Udheg Udheg
- Mbah Gantung Siwur
- Mbah Gropak Senthe
- Mbah Debok Bosok
- Mbah Galih Asem
- Mbah Gropak Waton
- Mbah Gandheng/Cendheng
- Mbah Giyeng
- Mbah Cumpleng
- Mbah Ampleng
- Mbah Menyaman
- Mbah Menya Menya
- Mbah Trah Tumerah
Ini menjadi menarik jika kita bayangkan bentang suatu masa panjang darimana asal-usul kita dahulu. Coba kita hitung, jika satu generasi rata rata berusia 70 tahun, maka tinggal dikalikan 70 tahun x 18 trah. Jadi jarak waktu antara bapak ibu kita dengan Simbah Trah Tumerah ternyata 1260 tahun. Jika dikurangi pada masa hidup kita di tahun 2023 ini, (2023-1260 ketemu 763), maka di tahun 763 M, ada seseorang yang hidup sebagai Mbah Trah Tumerah kita. Dan kita tidak tahu namanya atau cerita hidupnya. Apakah sebagai orang biasa, pejabat tinggi atau bahkan mungkin seorang raja.
Pada jaman sekarang, banyak orang modern yang mulai tertarik merunut kembali garis keturunan mereka. Motivasinya berbeda-beda, ada yang sekedar penasaran ingin tahu, sampai pada kepentingan pencarian spritual.
Tak jarang, keinginan merunut alur trah leluhur digunakan untuk memperkuat sugesti bagi yang 'ndue panjangka' (mempunyai keinginan) meraih suatu jabatan. Misal, ingin jadi lurah, bupati (kepala daerah) sampai presiden.
Alur trah ini dirasa sangat penting dan mempengaruhi 'kasedyaning panjangka' (tercapai apa yang diinginkan). Jika masih tergolong 'trahing kusuma rembesing madu' (trah para pejabat, atau kedudukan sosial tinggi), maka 'asep' (tuah) dari leluhurnya akan 'temurun' (menitis). Sehingga sering dikatakan bahwa seorang yang menjabat, dianggap 'kuat' atau mampu ketika dulu alur trah leluhurnya memang orang yang punya kedudukan/jabatan tertentu.