Cerita Guntur Susilo dan Motif Batik Berbasis Sejarah Desa di Gunungkidul

LainSisi
0
Cerita Guntur Susilo
dan Motif Batik Berbasis Sejarah Desa di Gunungkidul
Oleh: Edi Padmo


Seni(lainsisi.com)--Batik adalah salah satu seni adiluhung warisan leluhur. Sebagai warisan asli budaya nusantara, sampai saat ini, seni batik masih tetap 'diuri-uri'(dilestarikan) dan menjadi seni budaya yang mewakili identitas. Secara umum, pengertian batik adalah kain bergambar yang pembuatannya dengan cara menuliskan atau menerakan 'malam' (pewarna) pada kain, kemudian teknis pengolahannya dilakukan secara khusus.

Menurut sejarah, seni batik merupakan hasil budaya asli dari Indonesia. Bahkan, pada tanggal 2 Oktober 2009, batik telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda (intangible culture heritage). Dan sampai sekarang, tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Batik dinilai memiliki kaitan erat dengan gambaran adat istiadat serta budaya di berbagai wilayah.

"Batik telah menjadi pilihan dan jalan hidup bagi saya. Saya memaknai batik bukan sekedar kain bergambar atau bercorak. Seni ini merupakan gambaran hidup bagi masyarakat Jawa secara luas yang mempunyai nilai estetika, makna dan filosofi. Sebuah ekspresi budaya masyarakat yang berisi idealisme dan spiritualitas dalam bentuk makna-makna simbolik yang di dalamnya terkandung doa dan harapan,".

Kalimat diatas disampaikan oleh Guntur Susilo, warga Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Pria tiga anak kelahiran 23 November 1975 ini Sejak tahun 2011 aktif menekuni dunia batik. Ia bersama Dwi Lestari istrinya,berkeliling desa-desa di Gunungkidul untuk memberikan pelatihan batik kepada masyarakat.

Tak hanya mengajari batik, dalam pengembaraan berkeliling desa-desa di Gunungkidul, Guntur juga mempelajari sejarah desa sebagai latar belakang desain motif batik yang ia ciptakan.

"Sampai saat ini, saya telah berhasil menciptakan 14 desain batik khas dari 14 desa dampingan. Motif batik selalu saya awali dari basis cerita sejarah desa setempat. Dan yang saya temukan, sejarah nama desa ternyata kebanyakan dari nama pohon," lanjut Guntur.

Selain motif batik, telah diterbitkan juga dua buah buku tentang batik. Masing-masing 'Kamus Batik Manding' (Hizma Arum Bakhittah, Azi Wansaka, Hernia Nur Hidayah) yang berisi berbagai motif batik yang telah ia buat, dan 'Batik Siberkreasi' (Livy Laurens, Idha Jacinta, Guntur Susilo), buku tentang Jejaring Gerakan Cinta Batik Mahakarya Indonesia (GCBMI).

Sambil membatik di rumahnya yang merangkap sebagai studio, Guntur banyak bercerita tentang awal mula memutuskan untuk menggeluti dunia seni batik. Menurutnya, setiap motif atau pola yang tergambar di selembar kain itu bukan sekedar gambar tanpa makna, atau cuma sekedar hiasan saja.

"Pola-pola itu adalah simbol yang selain mengandung nilai estetika, juga sarat nilai spritualitas yang berisi doa dan harapan," katanya.


Tahun 2011, ia mulai merintis kesenian batik di lingkungan sekitar. Selama bertahun-tahun, secara konsisten, Guntur dan istri menularkan ilmunya dengan memberi pelatihan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil (20-30 orang). Mereka mengajari dan mendampingi kelompok hingga benar-benar bisa berproduksi batik secara mandiri.

Batik sebagai identitas desa ini, terus ia tularkan ke desa-desa yang lain di wilayah Gunungkidul. Dari ujung timur desa Girisubo sampai ujung barat desa Krambilsawit, Kapanewon Saptosari. Dari ujung selatan desa Tepus sampai ujung utara desa Ngawen.

Hingga di tahun 2023 ini, menurut Guntur akhirnya kurang lebih 14 desa yang sudah didampingi dan 14 motif tercipta dari upaya penggalian sejarah dari masing- masing desa tersebut.

Perjuangan ini bukan tanpa kendala, salah satu yang sering dihadapi adalah pola hidup praktis masyarakat sekarang. Hal ini membuat banyak orang yang enggan untuk mencintai dan belajar proses membatik yang butuh kesabaran dan ketekunan dalam proses pembuatannya.

"Tolok ukur banyak hal sekarang ini bukan diprosesnya, bukan 'sapa tekun bakale tekan' (siapa yang tekun akan tercapai tujuannya), tapi diukur dari seberapa cepat akan langsung menghasilkan materi," ungkap Guntur.

Pemikiran-pemikiran instant ini tentu bertentangan dengan proses batik yang harus telaten dan bertahap. Menurut Guntur, batik bukan sebatas sebuah upaya untuk mewujudkan selembar kain yang indah dan bernilai jual, namun lebih kepada sebuah mahakarya warisan luhur yang melambangkan keberagaman.

"Keanekaragaman motif batik mampu menjadi simbol yang mempersatukan segala keberagaman dan perbedaan yang ada. Bagaimana kita memahami keberagaman menjadi suatu keharmonisan," lanjutnya.

Sebagai seniman, mungkin itulah yang membuat batik menjadi karya seni yang sangat istimewa bagi Guntur. Mulai dari proses pembuatan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa, dari mulai proses pembuatan pola, pencantingan, pemberian warna dan proses pelorotannya. Belum lagi makna dan filosofi yang terkandung hingga etika dan tata cara pemakaiannya.

Di sisi lain, sebagai hasil kebudayaan batik juga memiliki banyak nilai tambah. Namun, sebagai pelestari seni batik, Guntur berharap teknik tradisional bersama nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat bersinergi dengan kemajuan zaman. Apalagi di era sekarang dimana digital banyak menawarkan kemudahan dan nilai praktis.


Beberapa waktu lalu, studio batik milik Guntur mendapat kunjungan dari President WCC - World Craft Council (Badan Kerajinan Dunia) UNESCO - Dr.Ghada Hijjawi Qadumi beserta rombongan dari 50 Negara untuk mengapresiasi Batik Manding Siberkreasi di Desa Kepek.

"Kunjungan ini sekaligus melaunching gerakan Sahabat Batik Dunia yang diinisiasi Gerakan Cinta Batik Mahakarya Indonesia (GCBMI)," pungkas Guntur.

Catatan redaksi ; Untuk 14 motif batik yang telah diciptakan oleh Guntur, akan kami ulas berkala pada tulisan selanjutnya.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!