Kisah Rita, Ibu Rumah Tangga
Penyeberang Gethek Kedhung Grenjeng
Oleh: Edi Padmo
Sosok(lainsisi.com)-- Perempuan berkerudung biru itu bernama Rita (31), ibu satu anak warga Padukuhan Banyusoca, Kalurahan Banyusoca, Kapanewon Playen, Gunungkidul. Kesehariannya, Rita menjadi penjaga 'gethek' atau rakit tradisional berbahan bambu yang menyeberangkan warga dari wilayah Gunungkidul ke Bantul atau sebaliknya, dari Bantul ke Gunungkidul.
Selama lebih sepuluh tahun, dengan rakitnya, Rita dan dua warga lainnya secara bergiliran menyeberangkan warga melintasi Kedhung Grenjeng Sungai Oya yang melintas di pinggir desanya.
Seperti siang itu, Rita tampak bergegas datang ke pinggir sungai, setelah sebelumya terdengar suara kentongan yang dipukul oleh warga yang akan menyeberang.
"Rumah saya hanya disitu, kentongan itu memang sengaja dipasang sebagai tanda panggilan saat ada yang akan menyeberang dengan rakit," kata Rita, setelah menyeberangkan dua orang warga yang mengendarai sepeda motor.
Kami kemudian mengobrol di gubuk yang dibangun sebagai posko penyeberangan. Cerita Rita, saat tidak ada orang yang akan menyeberang, maka ia beraktivitas di rumah layaknya ibu-ibu rumah tangga biasa. Saat terdengar kentongan dipukul, maka itu adalah tanda panggilan kewajiban yang harus ia laksanakan.
Sungai Oya adalah sungai terbesar dan terpanjang yang melintasi wilayah Gunungkidul. Alirannya membelah wilayah Gunungkidul bagian timur, utara, tengah dan barat sepanjang kurang lebih 177 km. Kedhung Grenjeng di wilayah Kalurahan Banyusoca terletak di ujung barat, menjadi perbatasan wilayah antara Gunungkidul dan Kabupaten Bantul.
"Penyeberang bisa dari arah Bantul yang akan ke Gunungkidul atau sebaliknya. Mereka biasanya mengendarai sepeda motor. Gethek ini bisa memuat 3 sepeda motor sekaligus," Rita melanjutkan ceritanya.
Gethek, atau rakit penyeberangan ini mempunyai lebar sekitar 2 meter dan panjang kira-kira 10 meter. Di ujungnya diikat bekas ban mobil sebagai penyeimbang dan menambah daya apung. Dengan sebatang bambu panjang yang didorong sampai dasar sungai, pengemudi gethek akan menggerakkan gethek sedemikian rupa, sehingga posisi pengangkutan dan pendaratan bisa pas.
Lebar sungai yang diseberangi kurang lebih 30an meter, dengan dasar berbatu (krakalan). Meski debit Sungai Oya di musim kemarau panjang ini berkurang drastis, air tampak masih jernih mengalir. Kedalaman air di jalur penyeberangan, rata-rata satu meter, tapi jika agak ke bawah bisa sampai tiga meter dalamnya.
Mengenai biaya penyeberangan, Rita menyebut angka 5 ribu rupiah sekali menyeberang. Tapi, kadang ia mengaku tidak pernah protes jika menerima upah seikhlasnya dari pengguna jasanya.
"Kalau pas ramai ya bisa dapat 100 sampai 160 ribu sehari. Tapi kalau sepi ya biasa saya bawa pulang 30 ribu, itupun harus dibagi dua untuk kas kelompok. Biasanya mereka memberi ongkos 5 ribu sekali menyeberang, tapi kadang juga seikhlasnya saya terima. Kalau yang tidak langganan dan baru sekali menyeberang, biasanya mereka memberi lebih, 10 ribu bahkan ada yang pernah ngasih 20 ribu," cerita Rita panjang lebar.
Para pengguna jasa 'gethek' Kedhung Grenjeng ini menurut Rita memang sudah banyak yang berlangganan. Mereka biasanya menyeberang untuk berangkat kerja. Dengan menyeberang melewati Kedhung Grenjeng, maka akan memotong jalur yang lumayan panjang dan menghindari kemacetan jika akan ke arah Yogya.
"Kalau dari sini mau ke Jogja, bisa langsung tembus Jalur Cina Mati, atau wilayah Patuk. Bisa juga arah Imogiri langsung ke Plered," kata Sarwidi suami dari Rita.
Siang menjelang sore itu, Sarwidi menyusul istrinya ke sungai. Rupanya ia baru datang dari kegiatan kerja bakti yang dilakukan warga. Sarwidi kemudian ikut ngobrol bersama kami. Bagaimana ia bercerita bahwa istrinya lebih sering menggantikan tugasnya sebagai penyeberang gethek, karena ia sendiri harus bekerja di bidang lain.
"Kalau dulu, saya yang mengerjakan pekerjaan ini. Tapi sekarang, saya harus buruh (kerja) di tempat lain. 'Isa disambi' (bisa untuk sampingan) kok mas. Istri saya juga sudah mahir mengemudikan gethek," lanjut Sarwidi yang disambut gelak tawa.
Warga yang menyeberang, lanjut Sarwidi adalah para pengendara sepeda motor. Kalau yang dari arah Bantul, biasanya warga dari Dusun Njolok, Besungu, Pakis, Jambu Ngrejek, Ledok dan Dlingo. Mereka biasanya mau berangkat kerja ke wilayah Gunungkidul, atau memang ada satu keperluan.
"Lewat sini memang jauh lebih dekat, daripada harus memutar lewat jalur Mangunan atau Patuk," katanya.
Cerita Sarwidi, gethek Kedhung Grenjeng ini sudah ada sejak sekitar tahun 90an. Pengoperasiannya biasanya hanya pada saat musim kemarau. Kalau musim hujan dan sungai banjir, gethek di ikat di pucuk rumpun bambu, sehingga tidak terbawa arus banjir.
"Dulu pernah diikat tambang dari seberang sana ke sini. Tambang digunakan untuk pegangan penyeberangan gethek saat sungai banjir. Tapi pas banjir besar, tambang ikut hanyut karena terbawa pohon-pohonan yang hanyut, dan sampai sekarang gethek beroperasi hanya saat musim kemarau," kenang Sarwidi.
Mendengar cerita sepasang suami istri ini, saya tiba tiba teringat cerita rakyat Ande Ande Lumut. Cerita berlatar belakang Kerajaan Kahuripan ini mengkisahkan tentang para putri yang kesulitan ketika akan menyeberang sungai.
Oleh Yuyu Kangkang mereka diseberangkan dengan syarat mau dicium pipinya. Putri Kleting Kuning yang cerdik, mengoles pipinya dengan kotoran ayam, sehingga Yuyu Kangkang tidak mau menciumnya. Dan akhirnya Putri Kleting Kuning atau Dewi Sekar Taji inilah yang diterima oleh Ande Ande Lumut atau Pangeran Panji menjadi istrinya.
Pesan moral dari cerita rakyat ini mengingatkan kita untuk selalu berbuat baik tanpa pamrih kepada sesama. Begitupun yang dilakukan oleh Rita dan Sarwidi dan anggota penyeberang gethek Kedhung Grenjeng. Meski mereka menerima upah dari para warga yang menyeberang, tapi kerelaan meluangkan waktu dan tenaga untuk menjalani profesi ini adalah bentuk dedikasi untuk menolong orang lain. Bahkan, mereka tidak pernah 'ngarani' (pasang tarif) untuk upah yang diterima.
"Seikhlasnya, berapapun yang diberikan kami tidak pernah protes, kami terima dengan senang hati. Namanya rejeki banyak atau sedikit ya harus disyukuri," pungkas Rita dan Sarwidi mengakhiri cerita mereka.