Tradisi Orang Jawa Terkait Makam Leluhur

LainSisi
0
Tiga Tradisi Orang Jawa 
Terkait Makam Leluhur
(Oleh: Edi Padmo)


" Dalam adat tradisi Jawa, pemberian tanda-tanda berwujud benda pada makam memiliki arti penghormatan kepada almarhum, mengenang jasa-jasanya, sebagai tanda sejarah kehidupannya serta memudahkan anak keturunan untuk berziarah mengirimkan doa. '

lainsisi.com Dalam banyak kepercayaan bangsa-bangsa di dunia, peristiwa kematian seseorang tidak serta-merta memutus hubungan batin dengan yang masih hidup. Anggota keluarga yang telah meninggal, dianggap hanya berpindah alam. Ruh mereka diyakini masih tetap hidup di alam keabadian. Jasad yang ditinggalkan, umumnya kemudian dimakamkan atau oleh beberapa suku, ada tradisi jenazah diawetkan yang disebut mumi.

Tradisi pengawetan jenazah paling terkenal adalah mumi bangsa Mesir kuno yang disimpan di makam berbentuk Piramida. Di Indonesia juga ada beberapa suku yang mengenal tradisi mumi, diantaranya mumi Kaki More dari Nusa Tenggara Timur, mumi Suku Dani dan Moni dari Papua dan mumi Suku Toraja dari Sulawesi Selatan.

Uniknya, mumi dari Indonesia ini tidak disimpan dalam ruang rahasia seperti di Piramida Mesir, namun secara berkala, dengan ritual khusus, mumi akan dikeluarkan dan dibersihkan. Bahkan, pada tradisi Suku Toraja, dikenal upacara adat 'ma'ene'. Mumi leluhur yang berusia puluhan atau ratusan tahun akan dikeluarkan dari tempat penyimpanan, dibersihkan dan diganti baju baru, untuk kemudian di arak keliling desa. Ada banyak cerita, dimana mumi dari Toraja Utara ini bisa berjalan sendiri, sehingga banyak mengundang wisatawan dari segala penjuru dunia untuk menyaksikan prosesi adat 'ma'ene'.

Di Jawa, memang tidak ada tradisi mumifikasi jenazah. Adat terkait proses penanganan jenazah atau 'ngrukti' jenazah selalu dengan cara dikubur atau dimakamkan. Berikut beberapa tradisi masyarakat Jawa khususnya Gunungkidul terhadap kuburan atau makam leluhur dan kerabatnya yang telah meninggal.

Kijing/Ngijing


Di Gunungkidul, tradisi 'ngijing' oleh masyarakat disebut 'mbangun candi'. 'Ngijing' dilakukan dengan cara memasang batu nisan (kijing) di kuburan anggota keluarga. Pemasangan 'kijing' bertepatan dengan selamatan atau peringatan hari kematiannya. Konon menurut beberapa literasi, pemberian tanda 'kijing' atau batu nisan ini hasil pengaruh budaya Eropa (baca, VOC atau Belanda). Sedangkan prosesi atau ritual adat 'ngijing' yang mengiringinya adalah akulturasi budaya masyarakat dan ajaran Agama Islam.

Tanda makam dari orang yang meninggal, yang awalnya hanya berupa gundukan tanah dan patok kayu, oleh keluarganya kemudian dipasangi 'kijing'. Kerabat dan tetangga kemudian bergotong royong untuk memasangnya. Hari yang dipilih biasanya bertepatan dengan selamatan 7 hari (mitung ndina), 40 hari (matang puluh), atau seribu hari (nyewu). Hal ini biasanya tergantung dari kesiapan keluarga untuk membeli batu nisan yang akan dipasang.

'Kijing' berbentuk panjang, dipasang membujur dari selatan ke utara, (mujur ngalor), sesuai arah penguburan jenazah. Umumnya terbuat dari semen poles, berlapis keramik, atau granit tergantung harga dari batu nisan. Pada bagian kaki/bawah tertera prasasti yang tertera tulisan nama yang dimakamkan serta tanggal lahir dan meninggalnya.

Di makam-makam tua, masih sering dijumpai 'kijing' terbuat dari batu utuh yang diukir. Sering juga ditemui 'kijing' yang terbuat dari tumpukan balok kayu jati utuh. Semakin tinggi tumpukan balok kayu yang terpasang adalah tanda semakin tinggi status sosial almarhum yang dimakamkan.

Kedua ujung 'kijing' dipasang kepala atau biasa disebut 'maejan'. Pada budaya Jawa dulu, 'ndas kijing' atau 'maejan' ini mempunyai bentuk-bentuk khusus yang mempunyai arti. Dari bentuk 'maejan' bisa menentukan strata sosial yang dimakamkan, atau jenis kelaminnya.

Ngemuli/memberi kain kafan


Selain 'ngijing', pemberian tanda berwujud material pada makam adalah 'ngemuli' (selimut/memberikan kain kafan) pada batu nisan. Ketika berziarah di makam, sering kita temui kain-kain putih (mori) yang sudah lapuk. Ahli waris dari almarhum biasanya mengganti kain 'mori' ini secara berkala. Biasanya dilakukan pada Bulan Ruwah dengan tradisi 'ngirim dunga' (kirim do'a). Kain kafan (kemul) dari 'kijing' akan diganti yang baru, sehingga kelihatan putih bersih, dan di atasnya ditaburi berbagai bunga.

Nyungkup/cungkup


Tradisi ini adalah mendirikan atau membuatkan rumah kecil tepat di lokasi nisan. Dahulu, bentuk 'cungkup' dan kualitas kayu yang digunakan bisa dijadikan tanda status sosial yang dimakamkan. Bentuk 'cungkup' besar dengan kayu jati kuno, bisa dipastikan yang dimakamkan adalah orang dengan status sosial tinggi. Bisa orang terpandang, kaya, pejabat atau masih kerabat keraton.

Khusus tradisi 'nyungkup', sekarang sudah sangat jarang dilakukan lagi di makam umum. Bangunan 'cungkup' dinilai banyak menyita tempat, teriring lokasi tanah pemakaman yang semakin penuh. Makam atau kuburan yang masih 'dicungkupi' dipertahankan khusus pada makam-makam tokoh yang dipercaya mempunyai nilai sejarah atau ada kaitan dengan cerita rakyat tertentu.

Selain tradisi yang berwujud material tadi, budaya pemakaman jenazah, oleh para leluhur dianggap sebagai suatu hal yang sakral. Prosesinya akan ditandai dengan urutan peringatan acara untuk mengenang mendiang. Mulai dari hari kematiannya (geblak), 'nelung ndina' (tiga hari), 'mitung ndina'(tujuh hari), 'matang puluh'(empat puluh hari), 'nyatus' (seratus hari), 'mendhak pisan'(satu tahun), 'mendhak pindho' (dua tahun) dan terakhir 'nyewu' (seribu hari).

Bahkan, setiap tahun dikenal tradisi "nyadran' atau 'ruwahan' yang dilakukan pada Bulan Ruwah (tilik arwah). Warga bersama-sama akan kerja bakti membersihkan kompleks makam. Setelah itu kemudian berziarah kubur ke makam anggota keluarganya masing-masing dengan membawa 'ubarampe' berupa 'apem' (berasal dari Bahasa Arab, 'afuan' atau 'afuwwun' yang berarti memohon ampunan.


Oleh leluhur, tanah tempat jasad dikuburkan juga dianggap sebagai tempat yang keramat. Ada lima sinonim sebutan untuk kuburan, yakni 'kramatan', 'makam', 'hastana', 'pasarean' dan 'jaratan'. Saat memasuki kompleks makam, juga ada tata cara sendiri, misal harus dalam keadaan suci, melepas alas kaki dan selalu bersikap sopan. Sikap ini adalah bentuk penghormatan kepada yang 'sumare' (dimakamkan).

Untuk mengantisipasi pemahaman bahwa tanda makam dikhawatirkan menjadi 'berhala' atau tempat pemujaan, maka dalam pemahaman Jawa, kita dilarang untuk memohon atau meminta sesuatu di kuburan. Kita tidak boleh mengajukan permohonan kepada yang 'sumare' (almarhum). Niat kita berziarah adalah semata mendoakan agar arwah leluhur diampuni (disimbolkan dengan apem/affuwun), diterima dan mendapat tempat terbaik disisiNya.



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!