Tiga Tempat Paling Strategis
Buat 'Yang-Yangan' Era 90-an
(Oleh: Gendring)
lainsisi.comTanggal 14 Februari bagi sebagian orang dianggap sebagai Hari Kasih Sayang. Kendati bagi sebagian yang lain, cinta dan kasih sayang dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, tak ada batasan ruang, waktu apalagi tanggal atau hari. Meski secara substansial sama, bagi anak-anak muda, urusan cinta beda zaman beda cerita. Ada keunikan cerita di masing-masing generasi dalam urusan pacaran.
Soal urusan asmara saya sebetulnya minim pengalaman. Hingga usia berkepala 3 tak banyak kenangan yang berhubungan dengan percintaan. Ada trauma ketika kanak-kanak yang membuat saya menjadi remaja yang pasif dengan lawan jenis, tepatnya minder.
Meski begitu, saya akan sedikit berbagi cerita. Sekitar tahun 2000-an, saya menginjak usia remaja. Dulu saya kadang heran saja dengan teman dan orang-orang usia dewasa yang dengan pede-nya berani menggoda gadis. Bahkan dengan perempuan yang tak dikenal sekalipun, mereka juga luwes saat mengajak kenalan lalu bersambung ke percakapan yang renyah. Nggak kaku justru kelihatan asyik dan mengalir. Kepiawaian itu sama sekali tak kumiliki. Karenanya, kerap kali dulu saya mendapat bulying 'tak berani' sama cewek.
Diam-diam, dulu saya banyak mengamati, teman atau remaja dewasa yang lihai menggoda cewek. Saya juga heran, betapa piawainya mereka berbasa-basi. Tak jarang, obrolan itu berlanjut untuk janjian main ke rumah sang cewek, lantas sesuai ekspektasi, berhasil menjadikannya kekasih.
Dulu, tentu beda dengan sekarang. Misalnya saja soal tempat buat nampang dan 'ngecengin' cewek. Bukan mall, play ground, tempat hiburan malam atau ruang publik lain layaknya di kota. Saya lahir dan tumbuh besar di wilayah Pegunungan Seribu, bagian selatan Gunungkidul. Wilayah yang dulu keadaanya jauh belum seperti sekarang dengan segala gemerlap wisata dan pembangunan. Masa remaja saya hidup dalam lingkungan yang berkonotasi 'ndesa' dan ketinggalan zaman. Pendekatan kepada yang ditaksir, harus secara langsung dengan mengandalkan keberanian mental dan percaya diri. Belum ada tekhnologi semacam telepon genggam apalagi media sosial seperti sekarang.
Setengah dekade terakhir generasi milenial hingga Y memang punya metode berbeda. Hidup di zaman yang serba teknologi membuat kaum ini tidak bisa lepas dari penggunaan gawai. Segala hal nyaris dilakukan secara virtual. Termasuk dalam 'PDKT' ke lawan jenis. Berbagai aplikasi media sosial menjadi pilihan sarana buat kenalan dan bertegur sapa, mencari kenalan yang ujungnya dijadikan pasangan.
Nah, kali ini saya akan berbagi cerita mengenai pilihan tempat strategis di kampung yang biasa dijadikan ajang muda-mudi untuk nampang dan kalau beruntung bisa dapat kenalan baru, yang akhirnya menjadi kekasih, bahkan sampai menjadi pasangan suami istri. Pilihan-pilihan tempat ini eksis pada tahun 90-an.
1. Pasar
Kok pasar? Bukannya ini tempat orang jual beli! Ruang sentral di mana urusan kebutuhan domestik rumah tangga agar tetap tegak?! Benar. Namun, bagi perjaka yang naluri untuk menyanjung perempuan sedang menggebu, pasar adalah salah satu pilihan lokasi yang potensial.
Karena desakan ekonomi, anak usia sekolah di kawasan Gunungkidul bagian selatan memilih terjun ke dunia kerja. Tentu sebagian besar kerja serabutan. Jadi buruh bangunan, misalnya. Lulusan SD dan SMP tak banyak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada pula paradigma bahwa pendidikan atau sekolah itu tak penting. Tidak berkorelasi dengan kenyataan 'kebutuhan yang mendesak' saat berada di rumah.
Maka, cukuplah sekolah sampai SD saja. Atau syukur-syukur bisa tamat SMP. Fisik kuat dan mampu bekerja keras sudah lebih dari cukup. Ia sudah layak punya 'tugas baru', yakni, ikut menanggung beban hidup keluarga. Menopang biaya sekolah adik, dan turut memikul kebutuhan makan anggota keluarga yang sudah sepuh.
"Sekolah lama-lama mau ngapain, nanti juga 'proyek' (red: buruh bangunan)," demikian ungkapan yang pernah saya dengar.
Banyak diantaranya kerja di Kota Jogja dan sekitarnya. Berbagai pembangunan fisik baik oleh personal dan perusahaan di kawasan kota menyedot banyak tenaga kerja. Posisi 'laden' atau pembantu umum si 'tukang' banyak dicari.
Mereka kerja Senin-Sabtu. Minggu menjadi waktu istirahat di rumah. Hal yang istimewa, tatkala Hari Minggu berpadu dengan hari 'pasaran'. Di pasar tradisional di kampung menjadi berjubel, banyak perempuan muda berbelanja. Baik untuk kebutuhan sendiri atau untuk kebutuhan satu keluarga. Saat ke pasar, mereka tentu saja berdandan.
Pemuda-pemuda kampung pun ikut ke pasar. Melepas penat atau sekedar beli minyak rambut. Merek yang pernah ngehits diantaranya Lavender dan Brisk. Kalau gaji 'proyek' cukup, beli kaos dan celana jeans sesekali dilakukan. Disela-sela itu, memandang, godain dan ngajak kenalan perempuan menjadi salah satu dorongan untuk berkunjung ke pasar.
Tak sedikit pula yang ke pasar berombongan sebatas untuk melototin perempuan belanja. Staterpack busana yang trendi dan terbilang 'gaul', pemuda biasa pakai kaos dan celana jeans model cutbray. Kaos bagian depan dimasukkan ke celana, bagian lengan dilipat, dan terkadang pada saku belakang celana jeans terselip sisir kecil.
Mereka datang dan mondar-mandir di antara lapak bersama rombongan. Goda cewek di lapak sayuran, di lapak pakaian dan seterusnya. Saat itu, tentu tak ada fragmen tukeran no hp. Meski begitu, jika mendapat respon positif, kelak, si cowok bersama rombongan tetap bisa main ke rumah si cewek. Dari pertemuan di pasar tradisional, ada yang benar-benar melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Yaitu membangun mahligai rumah tangga. Ciee..
2. Telaga
Telaga merupakan penopang masyarakat yang tinggal di kawasan gugusan Gunung Sewu untuk memenuhi kebutuhan air, mandi dan mencuci. Demikian pula bagi hewan ternak. Air telaga adalah andalan untuk memandikan dan mencukupi kebutuhan minum ternak.
Dengan perannya yang sangat vital, telaga menjadi fasilitas komunal yang kerap didatangi. Semua kelompok umur pagi dan sore pergi ke telaga. Baik untuk mandi, mencuci dan tentu mengambil air untuk dibawa pulang.
Di luar manfaat utama tadi, ada hal 'nyeleneh' yang dilakukan pemuda yang kebelet mengkespresikan perasaan. Saat ke telaga, tak enggan ia berjalan menempuh separuh keliling telaga untuk menemui perempuan dari desa lain yang sedang mencuci pakaian. Tentu saja merayu, menggoda dan meminta ijin untuk berkunjung ke rumah.
Guna menemui perempuan mandi, ada pula lho yang rela berenang dari tepi ke tepi. Mengarungi panjang diameter telaga guna memastikan siapa yang mandi di tepi telaga yang lain. Sialnya, yang mandi berstatus punya suami. Hehehe..
3. Balai Dusun atau Desa
Kantor pemerintah desa atau balai dusun kerap dijadikan sebagai pusat digelarnya acar-acara formal oleh perangkat desa bersama masyarakat. Peringatan 17-an, upacara tradisi Rasulan, penyelenggaraan posyandu, hingga menerima tamu dari lintas instansi atau lembaga di tingkat atas.
Dijadikan pula sebagai tempat digelarnya pentas seni dan hiburan berbagai momentum. Penutupan 17-an, puncak tradisi Rasulan, dan lain-lain. Umum, pentas seni yang digelar antara lain pertunjukan wayang kulit, ketoprak, campursari, hingga seni musik sejuta umat, pentas dangdut. Jauh lebih awal, dulu sempat trend pentas gerak dan lagu.
Nah, seluruh pagelaran seni tadi selalu digandrungi oleh kawula muda. Tak hanya dari kampung pemilik hajat, remaja dari kampung sebelah dipastikan menyerbu ke tontonan yang memang sangat jarang diadakan.
Dari sekian pertunjukan seni, wayang kulit menjadi kesenian yang logis bagi pemuda untuk melancarkan aksi 'PDKT'. Memang, mereka datang ke pertunjukan wayang kulit tak didasari ingin menyaksikan dalang membeber lakon yang dipentaskan. Kalaupun ada sangat-sangat sedikit.
Intensitas pertunjukan seni dan hiburan di kampung sangat jarang. Karenanya, gadis-gadis desa pun tertarik untuk datang melihat keramaian. Dari sebagian yang datang, memang punya harapan ada pria muda yang mendekatinya.
Perempuan muda kebanyakan datang bergerombol. Mereka banyak yang seumuran. Selain dari asal daerah yang sama, biasanya juga teman sekolah seangkatan.
Mereka memilih sudut-sudut halaman balai. Berada di pinggir, tak terlalu tersorot terangnya lampu, tak juga berada di kegelapan. Bagian tengah tepat di depan panggung, biasa diisi orang tua bersama anak-anak.
Bagi sebagian lelaki muda, membuka percakapan dan mengajak kenalan perempuan dibutuhkan nyali yang luar biasa. Di luar tanya nama dan daerah asal, pria muda harus pandai-pandai memilih topik obrolan pembuka. Nggak mungkin juga kan, cerita pengalaman bikin adonan campuran pasir, semen dan gamping saat 'proyek', hehe..
Maka itu, pendongkrak nyali kadang dibutuhkan bagi sebagian pemuda. Merekapun membeli minuman keras dalam perjalanan menuju lokasi hiburan. Biasanya jenis anggur merah atau hitam. Sesekali minum yang konon lebih mahal, yakni vodka. Uang untuk membeli minuman ini, biasanya 'umbukan' atau saweran per orang rata-rata 5 ribu rupiah. Sembari jalan kaki, atau berhenti duduk melingkar di 'buk' (jembatan kecil saluran air), minuman beralkohol diminum ramai-ramai. Ditenggak bergantian atau pakai satu gelas. Bagi yang berminat mendapat giliran berurutan. Istilahnya 'ubengan'.
Secara sengaja, volume miras yang diminum dikontrol. Sebab, tujuannya memang agar lebih luwes saja saat mengajak lawan bicara meski belum kenal sama sekali. Pemuda memang mengiginkan datangnya dampak miras pada fase paling awal. Mereka merasa riang, lebih percaya diri, dan ada saja ide topik obrolan sembari ketawa-ketiwi.
Konyolnya, sebagian bilang aksi kenalan cewek bisa 'mulus' dengan bantuan miras. Duuhh..
Yang perlu diingat, dampak minuman keras bagi tubuh itu merusak lho. Karena kadang awalnya hanya untuk menambah pede, eh..malah jadi ketagihan dan ketergantungan. Hal ini sangat berbahaya, bahkan berisiko pada kematian.
Pencapaian 'sukses' pemuda yang berhasil menggaet perempuan saat pentas wayang itu diantaranya diijinkan mengantar pulang mbak-mbak. Mengantar pulang dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak nan gelap. Jauhnya rumah si gadis tak menjadi batu sandungan. Pemuda tetap keranjingan menemani pulang gadis kenalan barunya.
Nanti saat pulang dan berkumpul kembali di sudut kampung, rekan sesama pemuda yang sehabis nonton wayang akan berbagi cerita 'keberhasilan' dekatin cewek. Berebut cerita panjang lebar berbusa-busa.
Pemuda nakal bahkan ada yang berkelakar menyombongkan diri, "aku mau isa nguwil" (menjawil) bagian tubuh perempuan.
Demikian sedikit cerita tentang gaya pacaran atau PDKT remaja di era sebelum tekhnologi gawai atau medsos. Dengan keminderan dan kepolosan waktu itu, sebetulnya saya lebih banyak hanya ikut-ikutan dan mengamati teman-teman sebaya. Meskipun pada akhirnya, setelah kuliah, sedikit demi sedikit perasaan minder terkikis dengan perasaan cinta saya pada seorang wanita yang sekarang menjadi ibunya anak-anak. Sampai saat ini, saya menjadi percaya bahwa cinta adalah misteri terbesar kekuatan manusia. Ketika kekuatan itu menggerakkan hati seseorang, rasa takut, minder akan hilang. Dan yang saya pahami, rasa cinta dan kasih sayang tak bisa hanya dibatasi dengan hari atau waktu tertentu.